Kurun Waktu 6 September 1950 – 10 Juli 1959
Pada periode ini diberlakukan sistem
Demokrasi Parlementer yang sering disebut Demokrasi Liberal dan diberlakukan
UUDS 1950. Perlulah diketahui bahwa demokrasi ini yang dibahas oleh kelompok
kami berbeda dengan demokrasi selama kurun waktu 1949 – 1950. Pada periode itu
berlaku Konstitusi RIS. Indonesia dibagi dalam beberapa negara bagian.
Sistem pemerintahan yang dianut
ialah Demokrasi Parlementer (Sistem Demokrasi Liberal). Pemerintahan dijalankan
oleh Perdana Menteri dan Presiden hanya sebagai lambang. Karena pada umumnya
rakyat menolak RIS, sehingga tanggal 17 Agustus 1950 Presiden Soekarno
menyatakan kembali ke Negara Kesatuan dengan UUDS 1950.
Pandangan Umum :
Karena Kabinet selalu silih
berganti, akibatnya pembangunan tidak berjalan lancar, masing-masing partai
lebih memperhatikan kepentingan partai atau golongannya. Faktor Yang
Menyebabkan Seringnya Terjadi Pergantian Kabinet Pada Masa Demokrasi Liberal:
Pada tahun
1950, setelah unitary dari Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Indonesia mulai menganut sistem Demokrasi
Liberal dimana dalam sistem ini pemerintahan berbentuk parlementer sehingga
perdana menteri langsung bertanggung jawab kepada parlemen (DPR) yang terdiri
dari kekuatan-kekuatan partai.
Anggota DPR berjumlah 232 orang yang
terdiri dari Masyumi (49 kursi), PNI (36 kursi), PSI (17 kursi), PKI (13
kursi), Partai Katholik (9 kursi), Partai Kristen (5 kursi), dan Murba (4
kursi), sedangkan sisa kursi dibagikan kepada partai-partai atau perorangan,
yang tak satupun dari mereka mendapat lebih dari 17 kursi. Ini merupakan suatu
struktur yang tidak menopang suatu pemerintahan-pemerintahan yang kuat, tetapi
umumnya diyakini bahwa struktur kepartaian tersebut akan disederhanakan apabila
pemilihan umum dilaksanakan.
Selama kurun
waktu 1950-1959 sering kali terjadi pergantian kabinet yang menyebabkan
instabilitas politik. Parlemen mudah mengeluarkan mosi tidak percaya terhadap
kabinet sehingga koalisi partai yang ada di kabinet menarik diri dan kabinet
pun jatuh. Sementara Sukarno selaku Presiden tidak memiliki kekuasaan secara
riil kecuali menunjuk para formatur untuk membentuk kabinet-kabinet baru, suatu
tugas yang sering kali melibatkan negosiasi-negosiasi yang rumit.
Kabinet Koalisi yang diharapkan
dapat memperkuat posisi kabinet dan dapat didukung penuh oleh partai-partai di
parlemen ternyata tidak mengurangi panasnya persaingan perebutan kekuasaan
antar elite politik. Semenjak kabinet Natsir, para formatur berusaha untuk
melakukan koalisi dengan partai besar. Dalam hal ini, Masjumi dan PNI. Mereka
sadar betul bahwa sistem kabinet parlementer sangat bergantung pada basis
dukungan di parlemen.
Penyebab kabinet mengalami jatuh
bangun pada masa demokrasi liberal adalah akibat kebijkaan-kebijakan yang dalam
pandangan parlemen tidak menguntungkan Indonesia ataupun dianggap tidak mampu
meredam pemberontakan-pemberontakan di daerah. Sementara keberlangsungan
pemerintah sangat ditentukan oleh dukungan di parlemen.
Setelah negara RI dengan UUDS 1950
dan sistem Demokrasi Liberal yang dialami rakyat Indonesia selama hampir 9
tahun, maka rakyat Indonesia sadar bahwa UUDS 1950 dengan sistem Demokrasi
Liberal tidak cocok, karena tidak sesuai dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945.
Akhirnya Presiden menganggap bahwa
keadaan ketatanegaraan Indonesia membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan
negara serta merintangi pembangunan semesta berencana untuk mencapai masyarakat
adil dan makmur; sehingga pada tanggal 5 Juli 1959 mengumumkan dekrit mengenai
pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 serta tidak berlakunya
UUDS 1950.
Seputar Dekrit Presiden
Pelaksanaan demokrasi terpimpin
dimulai dengan berlakunya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Namun tidaklah serta
merta bahwa setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Demokrasi
Terpimpin dilaksanakan karena telah disebutkan di atas bahwa Demokrasi Liberal
berakhir pada tanggal 10 Juli 1959. Latar Belakang dikeluarkan dekrit Presiden
:
- Undang-undang Dasar yang menjadi pelaksanaan pemerintahan negara belum berhasil dibuat sedangkan Undang-undang Dasar Sementara (UUDS 1950) dengan sistem pemerintahan demokrasi liberal dianggap tidak sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia.
- Kegagalan konstituante dalam menetapkan undang-undang dasar sehingga membawa Indonesia ke jurang kehancuran sebab Indonesia tidak mempunyai pijakan hukum yang mantap. Situasi politik yang kacau dan semakin buruk. Terjadinya sejumlah pemberontakan di dalam negeri yang semakin bertambah gawat bahkan menjurus menuju gerakan sparatisme.
- Konflik antar partai politik yang mengganggu stabilitas nasional. Banyaknya partai dalam parlemen yang saling berbeda pendapat sementara masing-masing partai politik selalu berusaha untuk menghalalkan segala cara agar tujuan partainya tercapai.
Demi
menyelamatkan negara maka presiden melakukan tindakan mengeluarkan keputusan
Presiden RI No. 75/1959 sebuah dekrit yang selanjutnya dikenal dengan Dekrit
Presiden 5 Juli 1959. Tujuan dikeluarkan dekrit adalah untuk menyelesaikan
masalah negara yang semakin tidak menentu dan untuk menyelamatkan negara.
Isi Dekrit
Presiden adalah sebagai berikut:
- Pembubaran konstituante
- Tidak berlakunya UUDS 1950 dan berlakunya kembali UUD 1945.
- Pembentukan MPRS dan DPAS
Reaksi dengan
adanya Dekrit Presiden:
- Rakyat menyambut baik sebab mereka telah mendambakan adanya stabilitas politik yang telah goyah selama masa Liberal.
- Mahkamah Agung membenarkan dan mendukung pelaksanaan Dekrit Presiden.
- KSAD meminta kepada seluruh anggota TNI-AD untuk melaksanakan pengamanan Dekrit Presiden.
- DPR pada tanggal 22 Juli 1945 secara aklamasi menyatakan kesediaannya untuk melakanakan UUD 1945.
Dampak positif
diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, adalah sebagai berikut:
- Menyelamatkan negara dari perpecahan dan krisis politik berkepanjangan.
- Memberikan pedoman yang jelas, yaitu UUD 1945 bagi kelangsungan negara.
- Merintis pembentukan lembaga tertinggi negara, yaitu MPRS dan lembaga tinggi negara berupa DPAS yang selama masa Demokrasi Parlemen tertertunda pembentukannya.
Dampak negatif
diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, adalah sebagai berikut:
- Ternyata UUD 1945 tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen. UUD 45 yang harusnya menjadi dasar hukum konstitusional penyelenggaraan pemerintahan pelaksanaannya hanya menjadi slogan-slogan kosong belaka.
- Memberi kekeuasaan yang besar pada presiden, MPR,dan lembaga tinggi negara. Hal itu terlihat pada masa Demokrasi terpimpin dan berlanjut sampai Orde Baru.
- Memberi peluang bagi militer untuk terjun dalam bidang politik. Sejak Dekrit, militer terutama Angkatan Darat menjadi kekuatan politik yang disegani. Hal itu semakin terlihat pada masa Orde Baru dan tetap terasa sampai sekarang.